Seribu kata ‘mengapa’. Seribu keheningan adalah jawaban.
Tidak ada orang yang mau bermimpi menguburkan dia yang dikasihi. Tapi ketika
itu harus dijalani, hanya satu kata yang berulang kali terucap di mulut kita:
mengapa. Mengapa saya? Mengapa keluarga saya? Mengapa dia? Saat kita tidak
menemukan alasan, kepedihan akan semakin dalam. Karena kita sudah demikian
tergantung pada ‘logika kematian’. Kita hanya bisa menerima kematian yang
‘masuk akal’saja. Yang tidak masuk akal, kita pertanyakan, kita ratapi, kita
teriaki. Seruan kita terdengar ‘seperti’ seruan Yesus di kayu salib, “Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15:34). ‘Seperti’, karena tak
sama…
Mari
kita merenung, benarkah Tuhan meninggalkan kita di saat kematian orang-orang
terkasih?
Benarkah Tuhan itu mengizinkan kejahatan menimpa kita, membiarkan kesakitan dan penderitaan kita alami, dan berdiam diri di hadapan kesedihan dan kehilangan kita yang amat sangat ini? Dalam iman, kita mungkin terlalu cepat menjawab, Tuhan tetap menyertai kita. Akan tetapi, kenyataannya begitu sulit untuk dipahami. Kehilangan demi kehilangan terlalu menyakitkan, kalau bukan mengecewakan. Tahun-tahun yang kita lalui bersama mereka yang kita kasihi, seperti dihapus begitu saja, seperti sia-sia. Kalaupun kita diam, kita seperti Abraham yang menggendong Ishak, anak yang lama didamba dan sekian tahun dibesarkannya itu, untuk dikorbankan.
Benarkah Tuhan itu mengizinkan kejahatan menimpa kita, membiarkan kesakitan dan penderitaan kita alami, dan berdiam diri di hadapan kesedihan dan kehilangan kita yang amat sangat ini? Dalam iman, kita mungkin terlalu cepat menjawab, Tuhan tetap menyertai kita. Akan tetapi, kenyataannya begitu sulit untuk dipahami. Kehilangan demi kehilangan terlalu menyakitkan, kalau bukan mengecewakan. Tahun-tahun yang kita lalui bersama mereka yang kita kasihi, seperti dihapus begitu saja, seperti sia-sia. Kalaupun kita diam, kita seperti Abraham yang menggendong Ishak, anak yang lama didamba dan sekian tahun dibesarkannya itu, untuk dikorbankan.
Mereka
yang pernah membaca Mazmur 22, sampai selesai, baru akan mengerti, apa sebabnya
kata ‘mengapa’ yang kita ucapkan itu, berbeda dengan yang diucapkan Yesus di
kayu salib. Yesus hendak mendoakan Mazmur 22, tapi tenaga-Nya tak cukup. Ia
berhenti pada ayat pertama, karena rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi Ia
tahu persis, apa isi Mazmur ini, sebab di dalamnya Allah sebenarnya sudah
‘menjawab’! ["Engkau telah menjawab aku!"] Allah tidak membiarkan,
tetapi menerima Yesus, bersatu dengan-Nya. Yesus sudah bertemu wajah-ke-wajah
dengan Bapa-Nya saat menyerukan Mazmur itu, dan sebentar kemudian, Ia berseru
dan menyerahkan nyawa-Nya.
Jadi,
kata-kata Yesus itu bukan sebuah kekalahan iman. Bahkan sebaliknya, itu adalah
puncak iman-Nya, puncak kemanusiaan-Nya yang paling berkenan pada Bapa. Yesus
takkan memanggil Bapa-Nya kalau Bapa tidak ada di sana. Bapa, sungguh-sungguh
‘ada’ di sana, di kayu salib, berhadapan, menyambut-Nya dengan tangan terbuka.
Kita
yang hadir di sini, mau melihat setiap peristiwa kematian seperti Yesus juga melihatnya.
Seperti Yesus yang melihat kematian tidak dengan ketakutan, demikian juga
mestinya kita semua. Seperti Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya karena tahu Bapa
menyambut-Nya, kita pun demikian. Kematian orang-orang terdekat kita, kematian
mereka yang kita cintai, dan kematian kita sendiri juga, adalah ‘jawaban’ Bapa
karena Ia selalu hadir dalam semua peristiwa itu. Mungkin Bapa seperti ‘tidak
menjawab’ seribu pertanyaan kita, tapi Ia tidak berdiam diri. Ia selalu ada di
sana untuk menerima kita, menyambut dengan lengan terbuka siapapun yang percaya
kepada Putera-Nya.
Kalau
kita memang beriman, saat ini, marilah kita berterima kasih atas kehadiran Bapa
di sini, di tempat ini. Kita berterima kasih karena Bapa sudah siap menyambut
mereka yang kita kasihi pada saat harus menyerahkan nyawanya. Kita berterima
kasih pada Bapa atas mereka yang begitu mencintai orang-orang yang telah pergi,
orangtuanya, kakak dan adik, famili, kakek/nenek, teman-teman dan sahabat,
mereka yang telah membesarkan dan mendampinginya hingga dewasa. Mereka semua
adalah ‘kehadiran yang riil’ Allah Bapa kita dalam hidup saudara-saudara kita
yang sudah mendahului pergi.
Kalau
saudara kita sekarang harus pergi, maka itu adalah ‘jawaban’ Bapa yang terbaik
untuk hidupnya. Kita tidak bicara tentang seseorang yang sudah ‘mati’. Kita
bicara tentang seseorang yang kita kasihi, dan yang ‘hidup’ untuk seterusnya;
ia tidak akan mati lagi, karena ia selalu percaya pada Dia yang sudah
mengalahkan kematian di kayu salib.
Mungkin
bagi kita semua saat ini jauh lebih berguna untuk bersama pemazmur berkata,
“Tuhan, Engkau telah menjawab aku!” Terima kasih untuk peristiwa iman yang
boleh kami alami ini. Terima kasih untuk kehadiran-Mu melalui orang-orang yang
kami cintai ini selama hidup mereka. Semoga kami pada saat Kau panggil nanti,
juga dengan rela dan percaya menyerahkan hidup kami ini kembali kepada-Mu.
Namun sekarang ini, izinkan kami untuk selalu hadir, untuk tetap hidup,
bersama-sama, satu sama lain sebagai saudara seiman.
Tambahlah
iman kami, untuk selalu percaya pada rencana-Mu atas diri mereka yang kami
cintai, rencana-Mu yang selalu ‘lebih baik’ daripada harapan apapun yang telah
kami bisikkan dalam doa-doa kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar