Untuk melihat selengkapnya silahkan klik tulisan di bawah ini :
Menjelang Fajar Paskah 2013 Slideshow Slideshow:
Jumat, 31 Mei 2013
Ibadah Pelantikan Ketua Stt Gki Slideshow Slideshow
Untuk melihat selengkapnya, silahkan klik tulisan di bawah ini :
Ibadah Pelantikan Ketua Stt Gki Slideshow Slideshow:
Selasa, 28 Mei 2013
KISAH ATLET INSPIRATIF DAN AYAHNYA
Ini Kisah Nyata
Olimpiade Barcelona, 1992.
Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar seplanet bumi.
Olimpiade Barcelona, 1992.
Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar seplanet bumi.
Nama lelaki itu Derek
Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris. Impian terbesarnya ialah
mendapatkan sebuah medali olimpiade, -apapun medalinya-. Derek sebenarnya sudah
ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun 1988 di Korea. Namun sayang beberapa
saat sebelum bertanding, ia cedera sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak
mau, olimpiade ini, adalah kesempatan terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini
adalah hari pembuktiannya, untuk mendapatkan medali di nomor lari 400 meter.
Karena ia dan ayahnya sudah berlatih sangat keras untuk ini.
Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia kan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini.
Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersembut, tiba-tiba ia didera cedera. Secara tiba-tiba di meter ke 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.
Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah.
Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli ia menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.
Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cidera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, “Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini”, katanya.
Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit dikakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa Derek ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju ke garis finish.
Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!”
Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin. Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.
“Aku disini Nak”, katanya lembut sambil memeluk Anaknya, “dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.
Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, Sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.
Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, menyemangati mereka, bersorak bertepuktangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.
Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.
“Aku adalah ayah yang paling bangga sedunia!, Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas.”
Dua tahun paska perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.
Namun tahukah kalian apa yang terjadi?
Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih sayang seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.
Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia kan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini.
Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersembut, tiba-tiba ia didera cedera. Secara tiba-tiba di meter ke 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.
Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah.
Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli ia menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.
Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cidera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, “Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini”, katanya.
Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit dikakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa Derek ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju ke garis finish.
Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!”
Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin. Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.
“Aku disini Nak”, katanya lembut sambil memeluk Anaknya, “dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.
Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, Sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.
Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, menyemangati mereka, bersorak bertepuktangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.
Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.
“Aku adalah ayah yang paling bangga sedunia!, Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas.”
Dua tahun paska perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.
Namun tahukah kalian apa yang terjadi?
Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih sayang seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.
Silahkan melihat videonya
berikut ini
Cerita Inspiratif
Kisah Guru Bijak dan Sebuah
Toples
Pada suatu waktu, terdapat seorang
guru yang bijak. Banyak murid yang datang dari tempat jauh, untuk mendengarkan
petuah bijaknya. Pada suatu hari, seperti biasa, para murid berkumpul untuk
mendengarkan pelajaran dari sang guru.
Banyak murid mulai datang memenuhi ruang pengajaran. Mereka datang dan duduk dengan tenang dan rapi, memandang ke depan, siap untuk mendengar apa yang dikatakan oleh sang guru.
Akhirnya sang guru pun datang, lalu duduk di depan para murid-muridnya. Sang guru membawa sebuah toples besar, disampingnya terdapat setumpuk batu kehitaman seukuran genggaman tangan. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sang guru mengambil batu-batu tersebut satu persatu, lalu memasukkannya hati-hati ke dalam toples kaca. Ketika toples tersebut sudah penuh dengan batu hitam tadi, sang Guru berbalik kepada para murid, lalu bertanya.
"Apakah toplesnya sudah penuh?"
"Ya guru," jawab para murid, "Benar, toples itu sudah penuh".
Kamis, 23 Mei 2013
Renungan Pentakosta
Pentakosta : "Kiranya Roh-Mu yang baik itu menuntunku!"
Pentakosta,
kaca bergambar, dibuat oleh Bruder Eric dari Taizé
Ketika
perayaan Pentakosta tiba, alam di banyak tempat di dunia mekar dengan segenap
kecantikannya. Musim semi merekah dan musim panas sudah di ambang pintu;
bulir-bulir gandum mencuat dan angin dengan gembira bermain di sela-sela
tanaman jagung, seakan-akan anginlah yang membuatnya tumbuh. Di Israel,
Pentakosta adalah perayaan ucapan syukur atas hasil panen. Di beberapa
perumpamaan, Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah datang dalam waktu yang
matang. Pentakosta menandai masa panen raya.
Namun
Pentakosta juga merupakan saat di mana tiba sesuatu yang sama sekali baru dan
belum pernah diharapkan. Apa yang terjadi di Sinai sudah merupakan sebuah
pertanda, yang saat ini menemukan penggenapannya. Allah mengungkapkan
kehendak-Nya, Hukum tidak lagi tertulis di atas loh-loh batu namun terpatri di
atas loh-loh hati kita. Juga Pentakosta bermakna bahwa di hadapan Allah berdiri
tidak hanya Musa seorang diri namun juga semua orang karena Api Roh Kudus turun
atas diri setiap orang. Melalui Roh Kudus, Allah sendiri datang dan tinggal
dalam diri kita. Dia hadir tanpa seorang perantara. Roh Kudus dianugerahkan
kepada kita agar supaya kita dapat masuk dalam sebuah hubungan yang intim
dengan Allah.
Jika
Roh Kudus sering digambarkan sebagai pribadi yang berada di “belakang layar”
dan sangat sederhana, ini bukanlah dikerenakan dia tidak ingin mengambil alih
tempat kita namun justru untuk memperkuat keberadaan diri kita. Di dalam
kedalaman hati kita, Roh Kudus tanpa henti mengulang kembali tekad
"ya" yang disampaikan Allah bagi kehidupan kita. Jika demikian halnya
maka ada sebuah doa yang dapat dengan mudah dipanjatkan oleh semua orang:
"Kiranya Roh-Mu yang baik itu menuntunku!" (Mazmur 143:10). Dengan
dukungan hembusan Roh Kudus itu kita dapat melangkah ke depan.
Di
akhir kehidupannya, Bruder Roger mengalamatkan doa-doanya kepada Roh Kudus. Dia
ingin menuntun kami untuk beriman kepada Roh Kudus yang kehadiran-Nya tidak
kasat mata. Dia memahami bahwa pergulatan batin untuk beriman percaya
sepenuhnya kepada hembusan Roh Kudus dan kasih Allah merupakan dua hal yang
sangat pokok dalam kehidupan umat manusia.
Selama
bertahun-tahun sudah, beberapa saudara-saudara kami tinggal di Korea. Suatu
hari saat saya sedang mengunjungi mereka, kami pergi ke sebuah biara Buddha.
Kami menerima sambutan yang sangat hangat. Saya terkagum-kagum melihat para
biksu yang dengan penuh keberanian mencoba untuk hidup dalam keselarasan dengan
visi mereka. Mereka melakukan banyak usaha keras untuk mengarahkan perhatian
mereka bukan pada diri sendiri namun untuk mebih membuka diri kepada sebuah
kenyataan yang jauh lebih besar, yaitu kepada Sang Mutlak. Mereka telah mengembangkan
sebuah kebijaksaan yang sangat mendalam, pergulatan untuk mencari belas kasih
yang mempertemukan kami dengan mereka.
Namun
pertanyaan saya, bagaimana mereka dapat tetap setia tanpa memiliki rasa percaya
kepada Allah yang berpribadi? Tekad mereka menuntut sebuah kesunyian yang
dalam. Kita, sebagai orang Kristen percaya bahwa Roh Kudus hidup dalam diri
kita; di dalam-Nya kita membentuk satu tubuh Kristus; kita mengarahkan diri
kepada Allah dan mengatakan "Ya" kepada-Nya. Ini merupakan langkah yang
besar, langkah yang tidak dapat dipahami oleh sebagian besar umat manusia.
Apakah kita juga memiliki rasa mawas diri atas bagaimana diri kita seharusnya?
Langganan:
Postingan (Atom)