Jumat, 03 Oktober 2014

Rabu, 16 April 2014

Pesan PASKAH PGI 2014



PESAN PASKAH 2014
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Tema:
“Kebangkitan-Nya Memulihkan Kehidupan” (Bdk. Filipi 3:10-11)

Umat Kristiani yang terkasih di manapun berada,
Salam sejahtera dalam kasih Tuhan Yesus Kristus,
  1. Pada waktu kita kini sedang mengalami berbagai malapetaka alam: letusan Gunung Sinabung dan Gunung Kelud, banjir bandang di Manado dan tempat-tempat lainnya, kita kembali menyambut masa Paskah Kristus Yesus. Sejatinya Paskah adalah titik kulminasi kemenangan Yesus Kristus atas maut, ketika kuasa dosa telah dikalahkan oleh Kebangkitan-Nya. Paskah senantiasa menghadirkan suasana dan semangat sukacita bagi seluruh umat yang telah ditebus oleh kuasa kebangkitan-Nya itu. Paskah, sebagai fakta dalam sejarah umat manusia, memberikan pengharapan di tengah-tengah berbagai ketidakpastian dan kekuatiran. Hal itu ditegaskan dalam kalimat Rasul Petrus berikut: “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1 Petrus 1:3).
  2. Maka, menyambut Paskah 2014 ini, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia mengangkat tema “Kebangkitan-Nya Memulihkan Kehidupan” (bdk. Filipi 3:10-11).

Selasa, 25 Maret 2014

Pesan Pastoral MPH-PGI untuk PiLeg 2014


Tahun 2014 adalah Tahun Politik, sebab pada tahun ini akan berlangsung 2 (dua) Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu Pemilu Legislatif untuk memilih Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014. PGI sebagai lembaga keumatan yang menaungi sebagian besar gereja-gereja di Indonesia, menyampaikan Pesan Pastoral kepada segenap umat Kristen di Indonesia agar berpartisipasi dalam Pemilu 2014. selengkapnya Pesan Pastoral dari Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sebagai berikut:
Tolak Politik Uang, Pilihlah dengan Hati Nurani dan Jangan Golput!
Saudara-saudara Umat Kristiani di Indonesia,
Tahun 2014 adalah Tahun Politik, sebab pada tahun ini akan berlangsung 2 (dua) Pemilihan Umum (Pemilu), yaitu Pemilu Legislatif untuk memilih Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014. Hasil kedua Pemilu tersebut akan mengganti seluruh anggota parlemen dan mengganti Presiden dan Wakil Presiden kita. Dalam menyambut dua peristiwa penting itu, maka ruang publik kita selama tahun ini akan diisi oleh berbagai wacana dan informasi politik untuk mewarnai dan memaknai pelaksanaan Pemilu 2014 ini. Tentu ada wacana dan informasi yang membangun dan mencerdaskan, namun ada juga yang bersifat pembodohan dan penggiringan opini. Karena itu, sebagai warga negara, kita perlu lebih hati-hati dan cermat dalam mencerna semua itu agar kita tidak terjerumus dalam pemaknaan yang keliru tentang Pemilu. Kita hendaknya tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan pencitraan yang makin masif menghampiri kita.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemilu selalu menjadi peristiwa penting yang menarik bagi setiap warga negara. Pemilu juga selalu memiliki makna eksistensial bagi sebuah negara, sebab Pemilu adalah mekanisme pendelegasian kedaulatan rakyat kepada mereka yang hendak memegang kekuasaan di pemerintahan. Pemilu juga adalah mekanisme pergantian pemegang kekuasaan secara periodik dan tertib. Dan dalam konteks Indonesia yang majemuk, Pemilu juga menjadi penting sebagai mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Dalam pengertian ini maka Pemilu merupakan kanalisasi konflik dan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, Pemilu tidak hanya sekedar bahwa setiap warga negara akan secara langsung menyalurkan hak politiknya untuk menentukan para pimpinan negara, tapi juga menjadi momentum dimana rakyat menaruh harapan akan adanya perubahan dan perbaikan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Bahkan Pemilu bisa menjadi alat kontrol dan kritik rakyat secara langsung bagi jalannya kekuasaan pemerintahan.
Namun demikian, kami menyadari bahwa Pemilu tahun ini berlangsung dalam suasana sosial politik yang sulit, yang membuat rakyat makin pesimis dan apatis terhadap Pemilu itu sendiri. Korupsi berlangsung di mana-mana, yang dilakukan oleh para pengurus partai politik, para pejabat dan para pemimpin bangsa, yang dipilih dalam Pemilu. Para pemimpin politik kita dengan rakus dan tanpa malu memanfaatkan posisi istimewa mereka untuk mengeruk habis harta kekayaan negara bagi kepentingan mereka sendiri dan partainya. Para anggota DPR pun lebih banyak memperjuangkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya, ketimbang mendahulukan kepentingan rakyat banyak. Begitu pula, para pimpinan lembaga eksekutif, lebih sibuk dengan urusan pribadi dan keluarganya ketimbang mengurus rakyat. Semua ini berlangsung di depan mata rakyat, seolah tak ada yang salah dan tanpa bisa dihentikan, minimal sebelum pejabat bersangkutan masuk bui. Akibatnya rakyat menjadi kecewa, marah dan muak dengan para politisi sehingga cenderung malas untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Situasi ini yang membuat mengapa pembangunan demokrasi kita seakan berjalan di tempat dan sulit mendapatkan makna substansialnya. Demokrasi kita dibajak oleh perilaku korup dan rakus para elit politik.
Bersamaan dengan itu, muncul pula sejumlah pertanyaan elementer yang terasa sulit untuk dijawab. Apakah sebenarnya demokrasi itu? Apa pentingnya demokrasi bagi kita? Untuk apa kita berdemokrasi? Masih adakah masa depan demokrasi di negeri yang pluralistik ini? Bagaimana pula perspektif demokrasi (Pancasila) yang diharapkan? Kalau demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, mengapa kemudian rakyat dan warga masyarakat menjadi skeptis dan apatis terhadap praktek berdemokrasi itu sekarang ini? Mengapa demokrasi tidak menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat? Mengapa tatanan kehidupan politik nasional semakin diwarnai dengan kekerasan dan anarkis dalam proses demokrasi sekarang ini? Apa yang salah dengan demokrasi kita? Demikian juga, Pemilu sebagai salah satu elemen penting demokrasi terasa seolah makin tak penting lagi. Kalau begitu, apa pentingnya Pemilu bagi kita sekarang?
Mengapa Harus Memilih?
Dalam kondisi seperti itu, memang sangatlah sulit untuk meyakinkan dan membangun optimisme rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Namun demikian, kami merasa bahwa ikut berpartisipasi dalam Pemilu tetap penting. Justru menjadi semakin penting di tengah apatisme rakyat yang semakin tinggi. Karena itu, Sidang MPL PGI 2014 di Merauke, Papua, menganjurkan agar warga gereja ikut secara aktif berpartisipasi dalam Pemilu 2014 dan tidak “golput.” Setidaknya ada 4 (empat) alasan yang bisa dikemukakan, yaitu:

Senin, 03 Maret 2014

Kegiatan HUT PI ke 159 di Tanah Papua (Manokwari, 3-7 Februari 2014)
selengkapnya klik:
http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-080d-c92a-04e2?ln





Minggu, 02 Maret 2014

Minggu Sengsara I (Esto Mihi : "Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan"_ Mazmur 31:3b)

Enam hari setelah pemberitahuan tentang penderitaan Anak Manusia itu, Yesus membawa tiga murid inti ke sebuah gunung. Gunung apa namanya? Ada yang mengatakan gunung Tabor adapula yang mengatakan gunung Hermon. Tidak banyak gunanya kalaupun kita mengetahui nama dan letak gunung itu. Fokus perhatian kita bukan nama dan letak gunung, tetapi apa yang terjadi di sana. Dalam 2 Petrus 1:18 disebut ‘gunung yang kudus’, barangkali gunung yang dimaksudkan adalah gunung di tepi timur danau Galilea, di sebelah selatan Betsaida, yang sering di sebut dalam kitab Injil. Yesus sering menyingkir ke gunung itu, bahkan khotbah di bukit kemungkinan besar disampaikan di sana. Perbedan waktu juga terjadi. Dalam Injil Lukas disebut sesudah delapan hari (9:28). Kita memahaminya demikian: setelah enam hari sejak pemberitahuan itu, pada hari yang ketujuh, Yesus membawa murid ke gunung. Perjalanan ini mungkin membutuhkan waktu sehari penuh. Mereka beristirahat dan pada pagi harinya, yakni hari kedelapan Yesus membawa mereka ke puncak. Lukas menghitung waktunya secara keseluruhan, sementara Matius dan Markus tidak menghitung waktu perjalanannya.
Mereka sendirian saja, demikian Markus menjelaskan suasana perjalanan itu. Hal itu memberi kesan bahwa memang peristiwa yang terjadi nanti, tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain, selain mereka bertiga. Peristiwa yang terjadi hanya diketahui mereka maka saksi dari peristiwa itu juga hanya mereka tiga. Kalaupun peristiwa itu akhirnya terekam dalam catatan penulis Injil Markus, tentunya setelah peristiwa kebangkitan. Itu sesuai dengan perintah Yesus sendiri agar mereka tidak memberitahukan peristiwa itu (9:9).
Perjalanan menuju puncak gunung itu barangkali melelahkan. Para murid tidur, sementara Yesus berdoa (bnd. Lukas 9:26). Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilau. Untuk menggambarkan pemandangan unik ini, Injil Markus mencoba menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. Kesan ini memberi makna bahwa yang terjadi pada Yesus bukan karena pakaiannya. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya. Pengetahuan kita mengenai alam baka terbatas, sehingga kita tidak dapat memahami dengan baik peristiwa ini. Yang jelas, Yesus penuh cahaya menyilaukan.