Senin, 03 Maret 2014

Minggu, 02 Maret 2014

Minggu Sengsara I (Esto Mihi : "Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan"_ Mazmur 31:3b)

Enam hari setelah pemberitahuan tentang penderitaan Anak Manusia itu, Yesus membawa tiga murid inti ke sebuah gunung. Gunung apa namanya? Ada yang mengatakan gunung Tabor adapula yang mengatakan gunung Hermon. Tidak banyak gunanya kalaupun kita mengetahui nama dan letak gunung itu. Fokus perhatian kita bukan nama dan letak gunung, tetapi apa yang terjadi di sana. Dalam 2 Petrus 1:18 disebut ‘gunung yang kudus’, barangkali gunung yang dimaksudkan adalah gunung di tepi timur danau Galilea, di sebelah selatan Betsaida, yang sering di sebut dalam kitab Injil. Yesus sering menyingkir ke gunung itu, bahkan khotbah di bukit kemungkinan besar disampaikan di sana. Perbedan waktu juga terjadi. Dalam Injil Lukas disebut sesudah delapan hari (9:28). Kita memahaminya demikian: setelah enam hari sejak pemberitahuan itu, pada hari yang ketujuh, Yesus membawa murid ke gunung. Perjalanan ini mungkin membutuhkan waktu sehari penuh. Mereka beristirahat dan pada pagi harinya, yakni hari kedelapan Yesus membawa mereka ke puncak. Lukas menghitung waktunya secara keseluruhan, sementara Matius dan Markus tidak menghitung waktu perjalanannya.
Mereka sendirian saja, demikian Markus menjelaskan suasana perjalanan itu. Hal itu memberi kesan bahwa memang peristiwa yang terjadi nanti, tidak dilihat dan diketahui oleh orang lain, selain mereka bertiga. Peristiwa yang terjadi hanya diketahui mereka maka saksi dari peristiwa itu juga hanya mereka tiga. Kalaupun peristiwa itu akhirnya terekam dalam catatan penulis Injil Markus, tentunya setelah peristiwa kebangkitan. Itu sesuai dengan perintah Yesus sendiri agar mereka tidak memberitahukan peristiwa itu (9:9).
Perjalanan menuju puncak gunung itu barangkali melelahkan. Para murid tidur, sementara Yesus berdoa (bnd. Lukas 9:26). Ketika berdoa, wajah Yesus berubah, penuh cahaya dan pakaiannya putih berkilau-kilau. Untuk menggambarkan pemandangan unik ini, Injil Markus mencoba menjelaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. Kesan ini memberi makna bahwa yang terjadi pada Yesus bukan karena pakaiannya. Ada sesuatu yang lain terjadi padanya, bukan berasal dari dunia, tetapi sesuatu yang dari ‘luar’ menaungi diriNya. Pengetahuan kita mengenai alam baka terbatas, sehingga kita tidak dapat memahami dengan baik peristiwa ini. Yang jelas, Yesus penuh cahaya menyilaukan.

Hampir saja murid melewatkan peristiwa besar ini, karena mereka tertidur. Ingat, para murid juga pernah tertidur ketika Yesus bedoa di Getsemane (Luk. 22:46). Yesus kecewa pada waktu itu. Anak manusia itu akan segera menyosong kematianNya, tetapi para murid lebih mementingkan dirinya sendiri. Sesaat setelah Yesus berubah penuh kemuliaan, di dalam kemuliaan itu juga Musa dan Elia hadir dan berbicara dengan Yesus. Barangkali tidak hanya Musa dan Elia saja yang hadir di gunung itu, tetapi yang dilihat oleh murd-murid hanya mereka berdua saja. Dalam Lukas 9:31 disebutkan bahwa Musa dan Elia berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapinya di Yerusalem. Ketiga Injil sangat tegas mengatakan bahwa Musa dan Elia yang berbicara. Musa dan Elia sedang berbicara kepada utusan sorgawi yang ada di bumi. Nabi itu tidak mampu mencegah bangsa Israel tidak berdosa, sehingga mereka harus mendapat hukuman. Kini, mereka mengandalkan Yesus.
Petrus tidak memahami makna peristiwa itu. Kebahagiaannya hanya terbatas bahwa dia diberi karunia melihat Musa dan Elia. Petrus sekali lagi gagal. Ia mengatakan yang tidak-tidak. “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami mendirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Sesungguhnya ia ketakutan. Manusia sesungguhnya takut bertemu dengan realitas kemuliaan Allah. Manusia akan kehilangan kesombongannya, kesombongan itu akan berubah menjadi ketakutan. Pikiran Petrus kacau, karena itu ia memberi usul konyol tentang kehadiran Musa dan Elia. Perkataan Petrus mendapat respon dari surga. Awan menaungi mereka, dan para murid mendengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” Seraya mendengar suara itu, Musa dan Elia tidak terlihat lagi oleh mereka.
Mengapa Musa dan Elia saja yang diperlihatkan kepada mereka? Mengapa Musa dan Elia yang berbicara kepada Yesus? Pertanyaan seperti itu bisa saja muncul. Musa menjadi mewakili setiap orang yang pernah diutus oleh TUHAN menjadi perantara kepada manusia. Musa diutus untuk membawa pembebasan kepada bangsa Israel. Pembebasan itu bersifat duniawi. Pembebasan seperti itu tidak pernah dapat membebaskan dengan sepenuhnya. Manusia tetap berdosa, pemberontakan terhadap TUHAN tetap akan terjadi. Oleh karena itu kali ini, TUHAN mengutus AnakNya sendiri (Yoh. 3:16). Pembebasan yang dibawa oleh Yesus bukan semata-mata pembebasan secara duniawi, tetapi kehidupan kekal. Hal itu juga untuk menambahkan pemahaman Petrus. Pada teks sebelumnya (8:31-38), Petrus menolak pembebasan yang disampaikan oleh Yesus melalui penderitaan. Petrus, sebagaimana orang banyak, menginginkan pembebasan secara duniawi, kemerdekaan bangsa Yahudi serta kebangkitan kembali Kerajaan Israel Raya. Mereka menginginkan Yesus menjadi pemimpin untuk gerakan itu. Namun, TUHAN bertindak dengan cara yang lain. Pembebasan secara duniawi itu tidak membawa untung apa-apa. Manusia tetap jatuh ke dalam dosa. Yesus melepaskan belenggu dosa melalui salib itu. Kehidupan yang kekal, itulah yang dimaksudkan oleh TUHAN, oleh karena itu Elia adalah wakil untuk menunjukkan bahwa kehidupan kekal sebagai hadiah terindah dari TUHAN melalui penderitaan di salib. Elia adalah nabi yang tidak mati. Dia naik ke surga, di mana ia hidup untuk selama-lamanya bersama kemuliaan TUHAN. Kedua oknum ini menjadi simbol tentang apa yang akan dilakukan oleh Yesus.
Sekali lagi, seperti ketika Yesus menerima pembaptisan di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis, TUHAN menunjuk kepada Yesus sebagai AnakNya di depan orang lain. Perbedaannya, adalah dalam pembaptisan, hanya terbatas pada Anak yang berkenan. Namun kali ini, disusul dengan sebuah perintah kepada manusia, “dengarkanlah Dia.” Ini adalah sebuah teguran. Teguran kepada Petrus, murid lainnya, kepada setiap orang. Manusia terlalu sering mengabaikan, menolak, serta melanggar perkataan Yesus. Sekarang, sebuah perintah dar surga datang. Tidak ada tawar-menawar lagi. Anak Manusia itu akan segera memikul salib. PerkataanNya harus didengarkan, agar penderitaanNya di salib menjadi sukacita bagi orang yang mengikut Dia. Pada mulanya mereka tidak mengetahui maksud Yesus membawa mereka ke puncak gunung. Namun kini semuanya semakin jelas, siapa Yesus yang mereka ikuti itu.
Dalam perjalanan pulang, Yesus mengingatkan para murid untuk tidak menceritakan peristiwa yang mereka lihat. Mengapa? Realitas surgawi tidak terselami manusia. Bagaimana mungkin orang lain akan percaya bahwa Musa dan Elia berbicara kepada Yesus. Mereka akan ditertawakan dan dianggap gila. Mereka akan dikatakan pendusta dan melecehkan Musa dan Elia, bahkan melecehkan TUHAN. Yesus memberikan masa tenggang bagi mereka. Anak Manusia itu harus bangkit dari antara orang mati, setelah itu mereka baru dapat mewartakan peristiwa yang mereka alami. Tentu saja, ketika Anak Manusia itu bangkit dari antara orang mati, peristiwa itu menjadi sangat mungkin untuk diwartakan. Kebangkitan dari antara orang mati adalah omong kosong bagi manusia, namun ketika itu sungguh-sungguh terjadi, pengertian manusia dijungkirbalikkan. Hal yang tidak mungkin terjadi, telah terjadi. Bagi manusia, tentu cerita tentang kebangkitan dari antara orang mati tidak terpahami, sebab bagi manusia itu tidak mungkin. Sekarang, kalau Anak Manusia itu sendiri telah bangkit dari antara orang mati, apakah tidak mungkin kalau Musa dan Elia berbicara kepadaNya?
Renungan

- Minggu Estomihi yang artinya: Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindunganku. Perjalanan menuju salib adalah perjalanan melindungi, menyelamatkan dan membebaskan. Anak Manusia itu sedang menuju ke sana. Manusia memohon agar ‘Dia yang menuju ke sana’ menjadi perlindungan. Manusia tidak dapat bebas dan lepas dari belengu dosa. Hanya ‘Dia yang pergi ke sana’ saja yang dapat melakukannya.

- Realitas surgawi tidak terselami oleh manusia. Pengetahuan manusia terbatas hal inderawi. Realitas bagi manusia adalah apa yang dilihat, dirasakan, dipahami pada dunia. Ketika realitas surgawi hadir pada dunia, itu akan terlihat sangat lain. Pengertian dan pengtahuan yang terbatas menjadikan hal itu sungguh sulit dinalar. Benarkah itu terjadi? Demikian manusia akan bertanya. Petrus, Yakobus, dan Yohanes berhadapan dengan realitas surgawi. Mereka sangat ketakutan. Rasa takut menjadikan Petrus tidak dapat memberi respon yang baik atas apa yang terjadi. Manusia yang berhadapan dengan realitas surgawi membutuhkan pengetahuan surgawi agar memahami peristiwa yang terjadi. Suara dari langit itu adalah pertolongan untuk memahami pertistiwa itu. Itulah pengetahuan yang mereka peroleh. Kehidupan beriman juga dimungkinkan ketika manusia berhadapan dengan realitas surgawi dan sampai kepada hal itu manusia itu harus mendapatkan pengetahuan dari surgawi juga.

- Yesus yang dimuliakan di atas gunung mengingatkan manusia betapa Dia sungguh mulia. TUHAN sendiri yang berbicara kepada manusia bahwa Dia adalah AnakNya. Yesus tidak memamerkan apa yang ada pada diriNya. Tetapi surgalah yang memproklamasikannya.

- Anak Manusia yang juga adalah Anak Allah berjuang untuk manusia. Salib adalah tahapan akhir dari pengutusanNya. Itu sungguh menyakitkan. KemuliaanNya dan kerendahan hatiNya akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olok bagi manusia. Sepanjang jalan menuju salib, orang akan menghujatNya, menghina, memukul, hingga Ia tergantung disalib, namun penderitaan kitalah yang Dia pikul (1 Kor. 1:8; 30; 6:20; 2 Kor. 5:21; 8:9). AMIN.
  (Sumber : www.pargodungan.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar