Tema
Minggu Paskah III (Misericordias Domini
atau ”Kasih setia Tuhan” yang diambil dari Mazmur 89 : 2a dan 33 : 5b).
Pembacaan
Injil adalah penampakan Tuhan kepada dua murid dalam perjalanan ke Emaus (Lukas
24 : 13 – 35).
SUKACITA KEHADIRAN-NYA
Dalam sebuah latihan kepemimpinan Kristen, para peserta
tidak hanya diisi otaknya, tetapi juga ditantang komitmennya dan dibina daya
tahannya. Setiap hati acara dimulai pukul empat pagi, dan baru berakhir pukul sepuluh
malam. Tidak semenitpun dibiarkan lowong. Yang menarik dan relevan adalah,
setiap acara dimulai selalu dibuka dengan sebuah salam. Pemimpin acara berkata,
“Tuhan telah bangkit !”, Lalu hadirin
menjawab, “sungguh Ia telah bangkit!” – mengikuti kebiasaan gereja lama.
“Sungguh, Ia
telah bangkit!” Makna simbolis salam ini adalah, bahwa setiap pekerjaan yang
akan kita lakukan kita awali dengan menyadari bahwa kita punya Tuhan yang
bangkit. Karena Ia hadir, berjalan dan bekerja bersama-sama kita. Kita tidak
lagi dibiarkan sendirian. Ini seharusnya membawa perbedaan besar. Setiap kali
presiden menghadiri acara, terlihat para petinggi saling berebut tempat yang
paling dekat. Perhatikanlah lagak mereka, bila berhasil berada di sampingnya
atau berjalan bersama-sama dia, begitu bangga! Begitu yakin diri. Walaupun
kadang-kadang juga petantang-petenteng – memuakkan.
Kehadiran
Yesus dalam hidup kita mestinya juga membawa perbedaan yang amat besar. Tetapi apakah
betul demikian? Mengapa seringkali tidak? Dalam kenyataannya, ini adalah karena
banyak orang Kristen berjalan seolah-olah tanpa Kristus.
Kita tentu ingat dua orang murid Yesus, yang sedang melakukan perjalanan ke Emaus (Luk. 24:12-35). Bayangkanlah: Berjalan bersama Yesus, bercakap-cakap dengan-Nya, bahkan mempercakapkan-Nya, tetapi mereka tidak merasakan apa-apa. Muka mereka “muram” (ay. 17). Harapan mereka yang pernah menyala-nyala kini padam. “Mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk menyelamatkan bangsa Israel’ (ay. 21).
Kita tentu ingat dua orang murid Yesus, yang sedang melakukan perjalanan ke Emaus (Luk. 24:12-35). Bayangkanlah: Berjalan bersama Yesus, bercakap-cakap dengan-Nya, bahkan mempercakapkan-Nya, tetapi mereka tidak merasakan apa-apa. Muka mereka “muram” (ay. 17). Harapan mereka yang pernah menyala-nyala kini padam. “Mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk menyelamatkan bangsa Israel’ (ay. 21).
Hati mereka
memang berkobar-kobar ketika mendengarkan Yesus berbicara (ay. 32), tetapi mata
iman mereka belum terbuka. Karena itu, kebangkitan dan kehadiran Yesus tidak
membawa dampak sukacita apa-apa.
Bukankah yang
semacam itu sering menjadi pengalaman kita juga? Terlalu banyak orang Kristen
yang mencintai, mengenal, dan mempercakapkan Yesus, tetapi tidak ada sukacita.
Hidup mereka dikuasai oleh kecemasan dan kekecewaan belaka. Mata iman mereka
menderita “katarak rohani” yang parah. Mereka Cuma melihat dengan mata jasmani.
Karena itu, hidup serba mengeluh karena penyakitnya, menggerutu karena
kekecewaannya, uring-uringan karena karena hidup tak berjalan sesuai dengan skenario
yang disusunnya, dan sebagainya.
Seperti
Kleopas dan temannya, mereka berkata, “yang kami dengar sih, Yesus konon sudah
bangkit. Tetapi kami sendiri belum melihatnya” (bnd. Luk. 24:24). Yesus yang
bangkit masih merupakan cerita yang mereka dengar dari tangan kedua. Belum
merupakan pengalaman tangan pertama. Ini yang membuat banyak orang Kristen
berwajah muram.
(sumber: 365 Anak
Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, Eka Darmaputera)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar