Senin, 15 April 2013

Renungan Minggu Paskah III


Tema Minggu Paskah III (Misericordias Domini atau ”Kasih setia Tuhan” yang diambil dari Mazmur 89 : 2a dan 33 : 5b).
Pembacaan Injil adalah penampakan Tuhan kepada dua murid dalam perjalanan ke Emaus (Lukas 24 : 13 – 35).

SUKACITA KEHADIRAN-NYA

Dalam sebuah latihan kepemimpinan Kristen, para peserta tidak hanya diisi otaknya, tetapi juga ditantang komitmennya dan dibina daya tahannya. Setiap hati acara dimulai pukul empat pagi, dan baru berakhir pukul sepuluh malam. Tidak semenitpun dibiarkan lowong. Yang menarik dan relevan adalah, setiap acara dimulai selalu dibuka dengan sebuah salam. Pemimpin acara berkata, “Tuhan telah bangkit !”,  Lalu hadirin menjawab, “sungguh Ia telah bangkit!” – mengikuti kebiasaan gereja lama.
          “Sungguh, Ia telah bangkit!” Makna simbolis salam ini adalah, bahwa setiap pekerjaan yang akan kita lakukan kita awali dengan menyadari bahwa kita punya Tuhan yang bangkit. Karena Ia hadir, berjalan dan bekerja bersama-sama kita. Kita tidak lagi dibiarkan sendirian. Ini seharusnya membawa perbedaan besar. Setiap kali presiden menghadiri acara, terlihat para petinggi saling berebut tempat yang paling dekat. Perhatikanlah lagak mereka, bila berhasil berada di sampingnya atau berjalan bersama-sama dia, begitu bangga! Begitu yakin diri. Walaupun kadang-kadang juga petantang-petenteng – memuakkan.
          Kehadiran Yesus dalam hidup kita mestinya juga membawa perbedaan yang amat besar. Tetapi apakah betul demikian? Mengapa seringkali tidak? Dalam kenyataannya, ini adalah karena banyak orang Kristen berjalan seolah-olah tanpa Kristus. 
          Kita tentu ingat dua orang murid Yesus, yang sedang melakukan perjalanan ke Emaus (Luk. 24:12-35). Bayangkanlah: Berjalan bersama Yesus, bercakap-cakap dengan-Nya, bahkan mempercakapkan-Nya, tetapi mereka tidak merasakan apa-apa. Muka mereka “muram” (ay. 17). Harapan mereka yang pernah menyala-nyala kini padam. “Mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk menyelamatkan bangsa Israel’ (ay. 21).
          Hati mereka memang berkobar-kobar ketika mendengarkan Yesus berbicara (ay. 32), tetapi mata iman mereka belum terbuka. Karena itu, kebangkitan dan kehadiran Yesus tidak membawa dampak sukacita apa-apa.
          Bukankah yang semacam itu sering menjadi pengalaman kita juga? Terlalu banyak orang Kristen yang mencintai, mengenal, dan mempercakapkan Yesus, tetapi tidak ada sukacita. Hidup mereka dikuasai oleh kecemasan dan kekecewaan belaka. Mata iman mereka menderita “katarak rohani” yang parah. Mereka Cuma melihat dengan mata jasmani. Karena itu, hidup serba mengeluh karena penyakitnya, menggerutu karena kekecewaannya, uring-uringan karena karena hidup tak berjalan sesuai dengan skenario yang disusunnya, dan sebagainya.
          Seperti Kleopas dan temannya, mereka berkata, “yang kami dengar sih, Yesus konon sudah bangkit. Tetapi kami sendiri belum melihatnya” (bnd. Luk. 24:24). Yesus yang bangkit masih merupakan cerita yang mereka dengar dari tangan kedua. Belum merupakan pengalaman tangan pertama. Ini yang membuat banyak orang Kristen berwajah muram.
(sumber: 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, Eka Darmaputera)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar